Saya mendapatkan musibah kehilangan sertifikat tanah dan rumah. Nanti akan saya tulis bagaimana itu bisa terjadi. Saya akan berbagi proses apa saja yang saya lalui terkait dengan kejadian ini.

Pertama kali saat sadar bahwa sertifikat tanah dan rumah tidak ada di tempatnya, dan dicari ke segala tempat yang mungkin juga tidak ditemukan, saya dan istri langsung menuju ke polsek. Polsek adalah kantor polisi di level kecamatan tempat tinggal.

Setelah sampai di polsek saya dimasukkan ke divisi reskrim (terkait dengan kriminal), karena kasus saya pencurian. Di sini prosesnya cukup lama karena saya diwawancarai sebagai saksi, sekitar 2 jaman. Di sini saya mendapatkan surat keterangan hilang dari kepolisian.

Keesokan harinya, saya berdiskusi dengan notaris tentang kasus ini. Sang notaria berkata, bisa saja sertifikat itu disalahgunakan (digadaikan atau dijual dengan memalsukan kartu identitas saya) dan dia menyarankan untuk mengurus sertifikat pengganti. Karena saya tidak mau kehilangan waktu untuk mengurus surat ini, saya menggunakan jasa sang notaris. Biaya yang dia minta termasuk pengumuman di media massa sebesar 4,5 juta. Cukup mahal tapi cukup murah juga daripada terjadi kejadian yang tidak diinginkan.

Sat ini ketika saya menulis ini  (6 September 2013  sekitar jam 10 pagi) sedang menghadiri proses pengambilan sumpah si BPN (Badan Pertanahan Nasional). Prosesnya sederhana, saya membaca teks sumpah yang sudah disiapkan di depan kepala apa gitu (lupa) lalu menandatanginya di atas materai.

Tahap berikutnya adalah pengumuman di koran. Selama 30 hari masa berlaku pengumuman itu, jika tidak ada pihak yang keberatan maka proses akan dilanjutkan. Dan setelah itu tinggal menunggu (ini sih katanya, sampai saat ini belum tahu yang sebenarnya karena masih diproses).